Minggu, 23 Januari 2011

Klub-klub ISL Diiming-imingi Rp 2 Miliar
Minggu, 23 Januari 2011 | 08:25 WIB

PSSI

TABANAN, KOMPAS.com - Dalam sidang kongres PSSI, di Bali, klub-klub Liga Super dijanjikan mendapat kucuran dana Rp 2 miliar per tahun, sedangkan klub Divisi Utama Rp 300 juta per tahun. Insentif itu di luar keuntungan hasil pembagian 99 persen saham PT Liga Indonesia mulai tahun ini. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Persija Jakarta Toni Tobias.

Arena kongres dimanfaatkan untuk menggalang dukungan untuk Nurdin Halid menjadi ketua umum PSSI lagi. Semua klub diminta menandatangani surat pernyataan dukungan menggunakan kop surat resmi PSSI dan materai Rp 6.000. Entah siapa yang menggalang dukungan tersebut karena saat dikonfirmasi, Nurdin Halid menyatakan ketidaktahuannya.

Dalam jumpa pers seusai kongres ditutup, Sabtu (22/1/2011) sore, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mengumumkan, kongres pemilihan Ketua PSSI 2011-2015 digelar 19 Maret mendatang di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia enggan menjelaskan soal alasan penentuan jadwal tersebut, termasuk mengenai syarat-syarat bagi calon ketua PSSI.

"Syarat-syarat itu hanya mengacu kepada Statuta PSSI," ujarnya sambil meminta anggota Komite Eksekutif, Ibnu Munzir, membacakan aturan Statuta PSSI. Wartawan telah meminta Nurdin agar PSSI memberikan salinan Statuta PSSI. Namun, hingga jumpa pers ditutup, PSSI tidak bersedia memberikan dokumen atau salinan Statuta PSSI yang diminta.

Pasal 41 Ayat (3) menyebutkan, pengajuan calon ketua PSSI paling lambat diserahkan kepada Sekretariat Jenderal PSSI, enam pekan sebelum tanggal kongres. Namun, dalam surat Sekjen PSSI Nugraha Besoes nomor 94/AGB/14/I-2011 tanggal 17 Januari 2011, penyerahan formulir pencalonan beserta berkas kelengkapannya paling lambat 23 Februari 2011.

Sementara itu, siang sebelum kongres ditutup, warga pencinta sepak bola menggelar unjuk rasa menuntut reformasi di tubuh PSSI. Demo itu digelar di gerbang pos pengamanan hotel, yang berjarak sekitar 500 meter dari arena kongres, karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke kawasan hotel.

Selain meneriakkan yel-yel agar Nurdin Halid mundur dari Ketua Umum PSSI, mereka juga membentangkan spanduk berbunyi seperti "Nurdin Halid Tidak Mundur, PSSI Akan Hancur", "Mantan Napi Tidak Boleh Pimpin PSSI", dan "PSSI Yes, Nurdin Cs No".

Terjadi ketegangan antara Manajer Persema Malang Asmuri dan anggota Komite Eksekutif PSSI, Togar Manahan Nero. Asmuri ingin mengikuti kongres untuk menyampaikan pembelaan atas pencabutan status Persema sebagai anggota PSSI, tetapi dihalangi Togar. Selain Persema, dua klub yang dicabut status keanggotaan PSSI adalah Persibo Bojonegoro dan PSM Makassar

Rabu, 02 Juni 2010

  • Iskandar Siahaan

Sering kita mendengar atau membaca pernyataan begini: generasi muda adalah penerus bangsa. Pernyataan seperti ini sering keluar dari mulut seorang tokoh publik. Biasanya itu diucapkan ketika memperingati peristiwa sejarah berkaitan dengan peran generasi muda. Pertanyaannya: apa benar generasi muda penerus bangsa?

Kalau asumsinya bahwa generasi muda sekarang pastilah kelak berperilaku baik dan berkeinginan mempertahankan kelangsungan hidup berbangsa, pernyataan itu bisa jadi benar. Tapi, kenyataannya, yang disebut generasi muda itu tidaklah tunggal dan statis. Aspirasi dan keinginan mereka bisa saja berkembang seiring perjalanannya. Sikapnya terhadap bangsa pun bisa saja berubah. Misalnya, sebagai individu atau kelompok, ada bagian dari generasi muda sekarang yang merasa bangsa yang sekarang tak perlu diteruskan.

Tapi, kenapa hal itu bisa mungkin? Pertama, jika sebagian generasi muda merasa bahwa kebijakan pembangunan yang berlangsung sekarang telah menempatkan mereka pada posisi yang diperlakukan secara tidak adil, alias didiskriminasi. Kedua, sebagian generasi muda merasa bahwa hukum telah diberlakukan secara tidak sama. Buat orang kaya dan berpunya, hukum bisa terasa lunak. Sementara buat mereka yang miskin dan tak punya apa-apa hukum diperlakukan secara keras.

Dalam kaitan itu, sebagian generasi muda merasa hidup berbangsa dalam payung negara Indonesia ternyata bukan buat mereka. Negara ternyata hanya melayani sebagian anak bangsa, tapi bukan mereka. Generasi muda yang merasa seperti ini bisa jadi akan memilih sikap bahwa bangsa dan negara Indonesia ini tak layak dipertahankan. Mereka merasa lebih baik membuat atau membangun bangsa dan negara sendiri.

Sikap lebih lunak dari itu adalah melakukan tindak kriminal, mengganggu keamanan dan ketenangan masyarakat atau bahkan menjadi teroris.

Karena itu, pernyataan di atas sekadar retoris sifatnya bahkan omong-kosong jika tidak diikuti oleh perbuatan yang mengarah pada pengembangan hidup berbangsa dan bernegara yang berkeadilan. Pernyataan itu bisa jatuh sekadar menjadi ideologi untuk menutupi realitas ketidak-adilan yang terjadi dalam hidup berbangsa.

Pesan buat mereka yang suka mengumbar pernyataan-pernyataan semacam, baiklah kiranya jika perhatian dan kerja diarahkan pada pengembangan hidup bersama yang berkeadilan dan jauh dari diskriminasi. Mengulang-ulang sesuatu yang kosong bukan tidak mungkin malah memunculkan sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya rasa muak pada generasi muda melihat perilaku elite dan tokoh politik yang cuma bisa memprovokasi dan menghasut – tapi tidak melakukan sesuatu yang nyata.

Barangkali kata bijak “diam adalah emas” bisa dicoba. Tokoh dan elite politik sebaiknya diam saja. Tidak usah membakar-bakar rasa kebangsaan atau nasionalisme kalau ketimpangan dan ketidak-adilan sosial-ekonomi belum bisa dipecahkan, halah…